Bojonegoro – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diharapkan dapat meningkatkan gizi siswa di Kabupaten Bojonegoro, kini berubah menjadi sumber kekhawatiran. Serangkaian insiden keracunan massal telah mencoreng dunia pendidikan, memicu pertanyaan serius tentang efektivitas pengawasan dan standar keamanan pangan yang diterapkan.
Setelah puluhan siswa SMAN 1 Kedungadem dan SDN Tumbrasanom menjadi korban, kini giliran siswa MTs Plus Nabawi, Kecamatan Kedungadem, yang mengalami gejala mual hingga pusing usai menyantap menu MBG pada Kamis (2/10/2025).
Ridho, seorang siswa kelas 7A MTs Plus Nabawi, menceritakan pengalamannya setelah mengonsumsi paket MBG yang berisi buncis, tempe, dan telur. “Saya hanya mual, tapi tidak sampai diare seperti teman-teman lain,” ujarnya, menggambarkan betapa beruntungnya ia dibandingkan teman-temannya yang mengalami gejala lebih parah.
Kepala MTs Plus Nabawi, Abdul Fakih, S.Pd, mengungkapkan kekecewaannya atas kejadian ini. “Kami tidak pernah memaksa siswa untuk makan menu MBG. Namun, fakta bahwa beberapa siswa mengalami gejala setelah menyantap makanan tersebut membuat kami mendesak adanya evaluasi serius,” tegasnya.
Di SDN Tumbrasanom, kronologi kejadian juga tak kalah memprihatinkan. Kepala SDN Tumbrasanom, Sukrisno, menjelaskan bahwa setelah 69 siswa mengonsumsi makanan MBG, beberapa di antaranya mulai mengalami muntah-muntah dan pusing. Bahkan, lima siswa harus dilarikan ke Puskesmas Kedungadem.
“Kami sampai harus menyiapkan kantong plastik karena muntahnya tidak berhenti,” ungkap Sukrisno, menggambarkan kepanikan yang terjadi di sekolah.
Insiden ini menambah daftar panjang kasus dugaan keracunan massal akibat program MBG di Bojonegoro. Sebelumnya, puluhan siswa SMAN 1 Kedungadem juga harus mendapatkan perawatan medis setelah mengalami diare serentak usai mengonsumsi MBG.
Rentetan kejadian ini memicu kemarahan dan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Program yang seharusnya memberikan manfaat, justru menjadi ancaman bagi kesehatan siswa.
“Ini bukan lagi sekadar masalah teknis, tapi kegagalan sistemik dalam pengawasan dan pengendalian mutu makanan,” ujar seorang wali murid yang enggan disebutkan namanya.
Masyarakat menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah daerah terkait program MBG. Desakan evaluasi menyeluruh dan audit independen semakin menguat, mengingat kasus demi kasus keracunan terus bermunculan tanpa adanya solusi yang jelas.
“Jangan sampai program ini hanya menjadi ajang pencitraan tanpa memperhatikan keselamatan dan kesehatan anak-anak kami,” tegasnya.
Pemerintah daerah diharapkan segera mengambil tindakan konkret untuk mengatasi masalah ini, termasuk meninjau ulang standar keamanan pangan, meningkatkan pengawasan terhadap penyedia makanan, dan melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat dalam proses evaluasi. Jika tidak, tragedi serupa akan terus berulang dan merusak citra pendidikan di Bojonegoro.
Penulis : Ciprut Laela
