Bojonegoro – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai solusi untuk meningkatkan gizi anak-anak Indonesia, kini justru menjadi sorotan tajam. Alih-alih memberikan manfaat, implementasinya di lapangan justru amburadul dan diduga terindikasi kuat menjadi lahan korupsi baru bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, Sabtu(20/09/2025.
Bagaimana tidak? Menu yang disajikan sangat minim dan jauh dari standar gizi yang seharusnya. Anak-anak hanya mendapatkan nasi dengan lauk seadanya, bahkan terkadang hanya sayur tanpa protein yang memadai. Apakah ini yang disebut makanan bergizi? Tentu saja tidak! Ini lebih mirip “makanan pengenyang” yang tidak memberikan dampak positif bagi tumbuh kembang anak.
Selain menu yang tidak layak, waktu pemberian makanan juga tidak jelas dan tidak teratur. Ada anak yang mendapatkan makanan saat jam istirahat, ada yang saat pulang sekolah, bahkan ada yang tidak kebagian sama sekali. Ketidakjelasan ini menunjukkan bahwa perencanaan dan koordinasi program ini sangat buruk.
Lebih parah lagi, muncul dugaan kuat bahwa anggaran program MBG ini diduga dikorupsi. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk membeli bahan makanan bergizi berkualitas tinggi, diduga diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Inilah mengapa menu yang disajikan sangat minim dan tidak sesuai standar.
Aroma Nepotisme di Bojonegoro
Informasi terbaru yang beredar semakin memperburuk citra program MBG ini. Di Bojonegoro, terungkap bahwa sekitar 85% dapur yang memasok makanan untuk program MBG ternyata dimiliki oleh anggota DPRD setempat. Meskipun tidak tercatat secara resmi di atas kertas, namun modal untuk pendirian dapur-dapur tersebut diduga kuat berasal dari para wakil rakyat tersebut.
Modusnya pun terbilang rapi. Para anggota DPRD ini menggunakan nama orang lain, seperti saudara, istri, atau anak mereka, untuk mengelola dapur-dapur tersebut. Dengan demikian, mereka seolah-olah tidak terlibat langsung dalam bisnis ini, namun tetap menjadi garda terdepan untuk menikmati keuntungan dari program MBG.
Jika dugaan ini benar, maka pantaslah para pelaku ini disebut sebagai “TIKUS KANTOR.” Mereka tega memakan uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan gizi anak-anak. Mereka tidak punya hati nurani dan hanya memikirkan keuntungan pribadi.
Lalu, siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Tentu saja, semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan program MBG, mulai dari pejabat pusat hingga petugas di lapangan. Mereka harus diaudit secara transparan dan akuntabel. Jika terbukti bersalah, mereka harus dihukum seberat-beratnya.
Selain itu, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap SOP (Standar Operasional Prosedur) MBG. SOP yang ada saat ini jelas tidak efektif dan tidak mampu mencegah terjadinya penyimpangan. SOP harus diperketat dan diawasi secara ketat oleh pihak independen.
Masyarakat juga harus berperan aktif dalam mengawasi program MBG ini. Jika menemukan indikasi penyimpangan, jangan ragu untuk melaporkannya kepada pihak berwajib. Jangan biarkan para “TIKUS KANTOR” ini terus merajalela dan merugikan anak-anak Indonesia.
Program MBG seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Namun, jika implementasinya amburadul dan penuh dengan korupsi, maka program ini hanya akan menjadi proyek gagal yang membuang-buang anggaran negara.
Semoga pemerintah segera bertindak tegas dan memberantas para “TIKUS KANTOR” yang merusak program MBG ini. Jangan biarkan mereka terus menggerogoti uang rakyat dan merampas hak anak-anak untuk mendapatkan makanan bergizi.
Penulis : Ciprut Laela
